Jadi santri itu banyak warnanya, banyak kegiatannya, banyak temannya, dan akhirnya banyak kenangannya. Siapa yang yang bilang kalau menjadi santri itu terkekang dan seperti hidup di penjara?, kalau ada yang bilang gitu, berarti dia tidak pernah mondok, ataupun dia pernah mondok, dia mondoknya tidak ikhlas. Kegiatan apapun, selalu punya suara lain, punya tawa lain, dan punya keunikan yang lain. Karena memang tidak ada sendirinya, bahkan tidurpun masih saja mendengar suara orang lain, yaa karena memang di kamar itu tidak ada yang sendiri. Sebelum tidur, cerita-cerita dulu, kapan tidurnya? ya nanti, kalau bahan pembicaraan sudah habis atau ada pengasuh yang keliling untuk mastikan tidak ada santri yang kabur. 

    Nah, hal lain yang unik menjadi santri adalah keberagaman. Bhineka tunggal ika adalah semboyan yang paling tepat untuk santri di pondok. Karena tinggal di pondok banyak menemukan orang-orang yang unik dan berbeda, tidak heran jika saat pertama kali mondok, hati sering tertawa sendiri dan senyum-senyum sendiri karena keunikan logat bahasa, intonasi bicara masing-masing teman.

   Ada yang dari desa, membawa kultur desa yang santun dan sedikit kampungan. Ada yang dari pulau yang seperti baru pertama kali melihat orang banyak berkumpul, atau orang yang biasanya sendiri kemudian kaget dengan kebisingan orang banyak. Suku yang berbeda, watak yang berbeda, latar belakang yang berbeda, dan bahasa yang berbeda, semua melebur menjadi satu dalam ikatan ukhwah Islamiyah, dan identitas menjadi satu dan menyatukan, yaitu SANTRI.



    Saat sudah saling mengenal, saling memahami karakter suku masing-masing, dan keakraban pun terjalin. Maka yang ada solidaritas masing-masing kamar, masing-masing kelas akan terlihat. Yah, entah kenapa, dengan sendirinya saling bahu-membahu menolong satu sama lain. Berbagi lauk saat ada hantaran dari kampung, pinjam uang ke teman, karena ada yang mendesak untuk di beli, atau minta sabun cuci, sabun mandi, sampo, bahkan meminjam baju sholat adalah hal yang lumrah di dunia santri. Semua tidak ada yang membeda-bedakan satu sama lain karena mereka bernasib yang sama, yaitu "Jauh dari orang tua". Maka para ustadz memberikan nasehat juga arahan pada santri untuk tidak ada yang berbeda di antara santri. Tidak ada yang dilihat karen pangkat dan jabatan orang tua, atau suku dan warna kulit. Tidak ada rasisme di dunia pesantren. Karena semua santri telah ditanamkan iman dan taqwa ke dalam dada mereka, untuk menyadari bahwa semua makhluk di dunia ini memiliki derajat yang sama hinanya, yang membuar seseorang itu hina atau mulia adalah iman dan taqwanya.



    Keadilan akan terlihat jelas dan terang ketika di ruang makan, tidak ada perbedaan. Bahkan takaran lauk sama persis dengan yang lainnya. Petugas di dapur memberikan kepada santri tanpa pandang bulu, tidak tergantung warna kulit, status sosial dan bahkan derajat keimanan juga tidak dilihat. Karena memang iman tidak bisa di lihat dengan kasat mata ya, heheheh.

   Keadilan sudah ditanamkan sejak dini saat mereka baru masuk pondok. Dan keadilan adalah penyebab kebahagiaan itu datang dari sekitar. Tidak ada perpecahan, kecemburuan sosial, dan tidak ada permusuhan karena semua merasakan manisnya adil itu sendiri. Prosedur makan harus dipenuhi, dari mulai antri, berbaris panjang dan sabar, tidak boleh memotong, mengucapkan terima kasih kepada petugas dapur, makan dengan lauk dan nasi yang sama tidak ada perbedaan disitu. Dan semua terlihat aman dan damai, tidak ada permusuhan yang terjadi karena berbeda lauk yang diberikan. Bahkan, lauk yang tidak kamu suka saja, tetap akan kamu makan. 


  Yang membuat komunikasi langsung dengan lisan terjadi diantara santri adalah karena mereka tidak boleh membawa gadget atau alat telekomunikasi elektronik di pondok. Jadi, mau tidak mau, perkenalan harus dengan berjabat tangan, bercerita dengan tatap wajah, dan berbicara dengan santun dan bahasa yang mudah dimengerti. Sehingga anak-anak akan bisa belajar bergaul dengan satu sama lain. Karena kita menyadari betapa dahsyatnya dunia milenial ini, orang bisa berkomunikasi dengan satu sama lain, walau berbeda jarak yang sangat jauh, bahkan berbeda benuapun masih bisa komunikasi. Namun, di pondok, mereka harus belajar berinteraksi dengan satu sama lainnya. Tidak bisa di pungkiri, yang tidak bisa bergaul, maka tidak bisa berteman banyak. Itulah, mereka disediakan lingkungan yang sedemikian rupa supaya bisa beradaptasi denganbaik. Harapannya, saat mereka hidup di masyarakat kelak, sudah pandai beradaptasi dan berbaur dengan orang lain, meskipun tempat itu sangat asing baginya.


   Dan yang terakhir adalah kebersamaan yang kuat. Di ujung tulisan ini aku ingin menceritakan betapa indahnya hidup berasrama di pondok. Lihatlah foto diatas, mereka berbaris rapi dan berseragam yang sama namun perlu kalian ketahui bahwa mereka berasal dari daerah yang berbeda bahkan suku yang berbeda. Namun, saat ada perlombaan yang di sediakan oleh pembina pesantren di pondok, mereka akan menjadi keluarga yang saling menjaga satu sama lain, saling menolong dan bahkan mereka menyayangi satu sama lain, seperti menyayangi adik kandung dan kakak kandung mereka sendiri. Saat itu, aku ingat sekali, salah satu dari mereka ada yang kehausan, kemudian sang senior mengingatkan untuk tidak ada yang minum kecuali semuanya harus minum. Tidak ada yang boleh mementingkan diri sendiri, kebersamaan adalah segalanya. Jika air itu satu gelas yang tersisa, maka semua tenggorakan harus merasakan air dengan ukuran yang sama, jika lelah, semua harus beristirahat dan tidak ada yang boleh saling mendahului. Uniknya, mereka taat dan setuju satu sama lain. Bahkan mereka akan saling menjaga kekompakan itu. Bayangkan, betapa indahnya mondok, betapa indahnya menjadi santri.

   Jika masa mudamu engkau gunakan untuk belajar dan berusaha, maka engkau akan rasakan manisnya masa depan. Dan sebaliknya, jika masa muda kita gunakan dengan aktivitas yang sia-sia, maka rasakanlah pahitnya kebodohan seumur hidup.