Catatan di 14 September

 


      Hari ini ingin aku sampaikan rasa syukurku karena telah memilih lembaran baru untuk menuliskan kisah kita. Aku telah menetapkan dirimu sebagai ibu dari anak-anakku yang tidak ada keraguan setitikpun. Engkau adalah wanita terbaik yang aku jadikan permaisuri dalam kehidupanku. 


    Hari itu, aku merasakan sesuatu yang sangat berbeda. Kebahagiaanku tidak terlukiskan, hari yang penuh warna dan sangat terkenang dalam hidup. Teman-teman sangat terkejut ketika kami menyebarkan undangan dan memohon doa untuk kelancaran acara kami. Beberapa hari sebelum hari pernikahan, kami memang saling berdiskusi kapan harusnya menyampaikan ke khalayak ramai. Mereka mengatakan bahwa kami cukup egois karena memendam informasi , padahal memang kami sangat mendadak.

                                                         
       14 september kami menikah, tepatnya hari Jum`at. Hari rabu aku masih di Batam dan istriku di Duri. Aku mengurus berkas pernikahan dari jauh, lebih tepatnya berdoa dari jauh agar semua dimudahkan. Dan kebesaran Allah aku saksikan, orang-orang sekitar sangat antusias dan ikhlas memudahkan urusan kami, khususnya urusan administrasi di kantor Penghulu.  Istri sempat bertanya berkali-kali, sebenarnya pernikahan hari Jum`at 14 September jadi apa tidak?. Karena posisiku masih di Batam, aku masih mengurus santri yang waktu itu sedang ada acara gebyar Muharram. Ia sempat khawatir pernikahan ini tidak terjadi dan itu benar-benar menghantui. Rabu pagi aku berangkat dari Batam, Perjalanan dari Pondok menuju bandara sekitar 45 menit dan aku sudah hampir terlambat. Jalanan pagi itu memang padat kendaraan orang-orang bekerja. Setibanya di bandara tidak menunggu lama, setelah mendapatkan tiket yang sudah tercetak aku tidak lagi duduk di ruang tunggu, karena Pesawat yang akan aku tumpangi sudah siap lepas landas. Aku nyaris terlambat, dan itu membuat jantung istriku berdebar, dzikir dan khawatir tidak bisa dibedakan ketika itu.

                                                                    



                                                                                 
      45 menit kemudian, aku sudah tiba di bandara Sultan Syarif kasim II. Di Duri, aku harus bertemu istriku di Jln. Siak. Karena kami harus mencetak foto untuk di Buku pernikahan. Padahal aku sudah berharap agar tidak bertemu dia dulu. Aku ingin bertemu ketika sudah di depan Penghulu, namun takdir berkata lain. Aku melihat wanita cantik nan anggun menggunakan baju biru dan jilbab biru. Warna kesukaanku dan kesukaannya, kami menyukai warna biru tanpa disengaja. Ia cantik sekali, namun aku jaga pandangan dan khayalan agar tidak terbang kemana-mana. Rabu Sore 12 September 2018, itu adalah waktu tersingkat yang kujalani menuju pernikahan bahagia kami.


    Malam sampai rumah, hari kamis aku dan ibu pergi ke pasar untuk membeli persiapan apapun yang harus disiapkan. “abang bicara mendadak, gimana mamak dan bapak mau siap-siap” kata mamak
“abangpun nggak tahu Mak, bukan karena sengaja mendadak, tapi memang waktu yang kita punya sedikit” jawabku sambil melempar senyum.

                                                                                    



   . Banyak yang mau datang dan menjadi saksi di pernikahan nanti, di kampung juga mereka Ibuku bertanya apa mahar yang aku akan berikan, dan jawaban belum ada dalam kepalaku. Yang terpenting ketika itu aku harus memastikan ibu dan ayah melengkapi semua persiapan yang kurang.  “Alhamdulillah bang, ini memang rezekimu. Meskipun abang kasih kabar mau menikah mendadak, tapi banyak yang membantu dan memudahkanantusias” sambung mamak

                                                                                       


 


    Malamnya aku menggunakan pacar, ini adalah moment yang paling aku tunggu sejak kecil. Karena melihat orang menikah dengan pacar di tangan sangat elegan dan memiliki charisma tersendiri. Akhirnya aku bisa merasakan itu, Alhamdulillah. Di waktu yang sama, istriku pun mulai di henna, oleh kak Triani sahabatnya. Dan sejak itulah kami resmi mulai memanggil dengan panggilan “abang dan adek”. Sebelumnya kami tidak berani, akupun demikian tidak berani memanggilnya adek. Setelah sepakat dengan panggilan itu, barulah kami mulai agak cair dan akrab.


      Kalian pasti tidak percaya, bahwa selama aku di pacar aku masih memikirkan apa mahar yang akan aku berikan. Bukan karena menganggap sepele dan enteng, tapi begitu singkatnya jalan dan proses pernikahan kami. Mamak yang memasang pacar di jariku, mamak yang menjadi saksi betapa ia  menyaksikanku siap untuk memulai bahtera keluarga yang akan mengarungi laut kehidupan yang luas.

                                                                                         


     Sampai pagi tiba, aku sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju rumah mempelai wanita. Kami datang dengan 6 mobil rombongan, aku dengan orang tua kandung dan orang tua angkat. Perjalanan dari rumah menuju rumah mempelai sekitar 2 jam, namun karena membawa pengantin jadi perjalanan 3 jam. Dan itu sangat aku nikmati, dzikir dan doa tidak hentinya kupanjatkan. Aku terus berdzikir untuk menenangkan hati. Dia bertanya sudah sampai mana setiap 30 menit, mungkin khawatir aku tidak jadi berangkat, hehehe.


        Ada hal yang unik dan lucu bagiku ketika itu, dan kalian yang membaca tulisan ini mungkin memiliki dua persepsi, like and dislike. Tapi itu adalah hak kalian semua para pembaca. Sebelum masuk ke simpang menuju rumahnya mobil berhenti menunggu rombongan yang lain. Aku lihat di ujung pandanganku, ada mesin ATM, kubuka pintu dan jalan menuju atm tersebut. Aku mengambil “mahar”. Yah, aku mengambil uang untuk kujadikan mahar. Setelah berdiskusi dengan ibuku, akupun mantap dan yakin untuk menjadikan mahar. Namun bukan karena aku tidak membawa apa-apa, aku sudah membawa beberapa buku, sajadah dan Al Qur`an. Tapi aku tidak ingin seperti kebanyakan orang, anti mainstream lah bahasa ngetren-nya. Yah, aku menikahinya dengan cara yang berbeda, maka memberi mahar juga dengan yang beda.

                                                                             



    Setelah 6 mobil sudah berkumpul, kamipun langsung segera meluncur kerumah mempelai wanita. Saat sudah memasuki kampung tempat dia tinggal, aku ditanya ayah angkat dimana jalan menuju rumahnya.
“dimana rumahnya Kak?” Tanya ayah angkatku yang menyetir mobil
“aduh om, kakakpun tak tahu” jawabku malu
“bagaimananya ini, masak mempelai laki-laki tidak tahu dimana rumah mempelai wanita, jangan-jangan tak tahu juga siapa yang mau dinikahi” jawabnya disambut gelak tawa seisi mobil termasuk mamak.
“lah orang memang kemaren waktu melamar, dia masih di Batam kok, mana tahu dia dimana rumahnya. Kami aja Cuma sekali kesini, itupun di jemput, mana tahu kami” jawab ibuku membelaku

                                                                                    



Aku tidak mendramatisir kawan, aku memang tidak tahu jalan menuju rumahnya. Akhirnya kamipun mencari rumah yang dekat dengan jalan dan berhenti untuk bertanya. Setelah bertanya, barulah kami tahu dimana rumah istriku. Bayangkan kawan. Bagaimana tidak mengabari tiba-tiba tentang pernikahan kami. Akupun tidak tahu dimana rumahnya.


     Begitulah kisah cinta kami yang unik. Aku memang tidak ikut mengkhitbah, hanya orang tua dan keluarga dekat yang datang melamar. Aku di Pondok Pesantren Hidayatullah Batam, tepatnya diatas sajadah untuk terus berdoa memohon hasil yang terbaik. Tidak kulipat sajadah, dan tidak kutinggalkan sajadah itu sebelum aku mendapatkan kepastian jawaban dari orang tua dan walinya dan kepastian tanggal pernikahan kami. Yang sebenarnya, orang tua istri mengatakan tidak perlu khitbah, asalkan komunikasi jalan dan jelas. Kapan bisa mempelai laki-laki datang, langsung menikah juga tidak jadi masalah. Karena kebaikan tidak perlu ditunda-tunda, semua ibadah harus di segerakan asal tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Aku setuju, namun kedua orangtuaku tidak menginginkan itu, tidak elok katanya. Harus ada pertemuan dua belah pihak untuk menentukan waktu terbaik demi keberkahan pernikahan anak-anak mereka. Maka diputuskanlah, 14 September 2018 hari Jum`at dilangsungkannya pernikahan kami. Jika ada pertanyaan yang ditanyakan kepadaku pada mereka, aku hanya ingin meminta bahwa hari ijab Kabul pernikahanku adalah hari Jum`at. Aku ingin menikah di hari yang istimewa, hari yang tidak akan pernah aku lupakan. Menikahi wanita yang telah Allah takdirkan setelah sholat Jum`at, doa yang mana waktu itu waktu terbaik dikabulkannya permintaan. 


“Aku Terima nikah dan kawinnya betri Yundari anak kandung bapak dengan mahar sebesar ********* dibayar tunai…! “ ucapku tegas dan lugas sekali saja.
“bagaimana saksi? Sah?” Tanya tuan Kali


“sah” “sah” “sah”

                                                                                



Jawab para hadirin yang datang ketika itu. Keluarga, sahabat dan adik kelas di pondok turut hadir menyaksikan hari bersejarah kami berdua. Muhammad Shiddiq Ghazi dan Betri Yundari resmi menjadi pasangan suami istri yang Sah dan Halal.


    Dan malamnya hujan pun turun, tidak lebat hanya membasahi tanah dan menambah indah suasan malam itu. Aku meyakini bahwa itu adalah bukti Rahmat Allah turun tanda keberkahan pernikahan kami. Dan Mulai 14 september 2018 bahtera kami sudah berlayar. Aku mencintainya dan dia mencintaiku, dibawah kalimat Tasbih yang tidak pernah hilang dalam hati kami.

                                                                                 


    Ini foto Buk Ses dan Sahabatku Nugraha, mereka datang dan duduk tepat di depanku. Mereka ingin menyaksikan aku mengucapkan ijab kabul secara langsung. Buk Ses adalah guruku tercinta, beliau datang karena benar-benar ingin menyaksikan, betul tidak kami menikah. Karena memang kabar pernikahan kami sangat mengagetkan beberapa pihak, salah satunya buk Ses. 

Aku akan menuliskan banyak hal tentang pernikahan sederhana kami, kisah yang terus aku ceritakan kepada orang-orang yang ingin mengetahuinya. Bukan untuk ajang pamer atau merasa paling baik, tidak. Pernikahan kami sangatlah sederhana, jauh dari kata pantas jika kami harus memamerkannya. Namun aku selalu berbicara di depan orang-orang yang merasa bahwa cinta itu kadang mengekang dan menyulitkan, apalagi mendengar kalimat bahwa cinta tidak harus memiliki. Itu salah, bagiku justru karena cintalah, ia akan membawa kita kepada siapa yang harus kita miliki. Dan aku telah mencintai orang yang aku miliki, dan orang yang aku miliki sangat aku cintai.





Posting Komentar

0 Komentar