Panggilan untuk pemilik bahu terlapang, tulang punggung terkuat, pelindung terkokoh, meski tak pandai bicara cinta, juga tak mahir mengurai air mata, namun di tiap tengadah tangannya ke langit tak pernah alpa menyebutmu dalam doa.

    Kita terkadang sering lupa setiap kali meminta sesuatu, selalu ibu yang kita  tuju dan tak pernah lupa selalu begitu. Padahal apa yang kita terima daringya adalah hasil jerih payah seorang ayah. Lelaki yang awalnya gagah menjadi lemah karena termakan usia. Ia yang selalu berhadapan dengan lelah dan letihnya bekerja, beradu kuat dengan terik matahari. Melawan dinginnya cuaca hari, dan selalu melampaui jalan cepatnya waktu. Ayah berkorban demi anaknya untuk terus bertahan dalam perjuangannya meraih mimpi. Mimpi yang sebenarnya untuk kebahagian anak itu sendiri bukan untuk ayahnya, terkadang begitu.

admin bersama ayah saat di Batam

Aku ingin bercerita bagaiamana ayahku berjuanga melangkah bersama waktu. Ia bangun lebih awal untuk membantu ibuku menyiapkan segala hal yang akan aku makan pagi hari menjelang keberangkatanku menuju sekolah. Tak jarang saat ia sakit memaksakan diri untuk tetap bangkit beraktivitas sebagaimana biasanya. Menyembunyikan rasa sakit dari hadapanku seolah-olah ia mampu. Padahal langkah kakinya yang tertatih tampak jelas bahwa hatinya terus mengeluh memintanya untuk beristirat sejenak waktu. Selalu begitu, itulah ayahku.

Setelah segalanya selesai disiapkan, ayahku berangkat bekerja lebih dulu. Aku jarang sekali mencium tangannya karena ia harus mengejar waktu. Namun walau begitu, ibuku selalu berpesan untuk belajar dengan giat karena itulah yang di ucapkan ayah kepada ibu untuk disampaikan kepadaku. Ayah selalu memantau dari jauh, jauh yang aku tidak bisa melihatnya, dimana itu. Cintanya, aku merasakan cintanya dari jauh. Yang dapat kulihat setelah sekian tahun berlalu. Sekaranglah, sekarang aku baru merasakan betapa ayah mencintaiku anaknya sepenuh jiwa.

Hangat, cinta ayahku sangatlah hangat. Tidak seperti apa yang aku lihat. Diam, tak mengajakku bercanda saat aku sekolah. Selalu memberikan nasehat lewat lisan ibu, dan selalu begitu. Ayahku, begitulah ayahku.

malaikat tak bersayap kami
Hingga air mata ini tak mampu kutahan, ia terus mengalir saat aku mengingat perjuangan ayahku untuk kami anaknya. Semakin aku tumbuh dewasa, ayahku menua, semakin tua dan melemah. Namun ia tidak pernah memperlihatkannya kepadaku. Ayah memang selalu begitu. Ia tidak mau memperlihatkan ketidakmampuannya dengan sesuatu karena ia takut anaknya menjauh. Sehingga tidak jarang sekali ayahku harus bekerja setelah pulang kerja, tak pernah istirahat lama dan pasti memaksa kami untuk istirahat. Kami makan apa yang kami suka, dan meminta apabila tidak ada. Sedangkan ayah, ia memakan sisa apa yang kami tidak suka. Memperlihatkan wajah cerianya akan sesuatu saat makan sisa dari kita. Semuanya hanya untuk membuat kita bahagia dan tidak merasa bersalah.Ayah, dia malaikat kita anaknya. 


Langkah tertatih engkau terlihat gagah
Cintamu pada kami tak terkira
Air mata hanya menetes dalam doa
Sedangkan peluh tertanam lama tak pernah ada
Cintamu sejuk menghanyutkan raga
Panasnya terik engkau kalahkan
Dinginnya menusuk tak kau hiraukan
Tubuhmu melemah, termakan usia
Jiwamu perkasa
Perkasa melawan masa
Ayah...
 Berikan kami cinta
Ajarkan kami cinta
Bimbing kami dengan cinta
Maafkan kami karena cinta
Ayah....
Aku meminta setitik daya untuk bertahan lama
Untuk mengarungi hidupku
Karena dirimu adalah tauladan tak terbalaskan jasamu
Ayah... aku mencintaimu